~~~~~
Sejujurnya, aku bukan orang yang terbiasa berbagi. Bukan hanya kebaikan-kebaikan, melainkan juga beban hidup dan tanggung jawab yang di hari-hari tertentu terasa sulit sekali diemban. Kupendam saja semua, seolah kesulitan-kesulitan itu hanya miliku sendiri.
Dan kalau hal-hal buruk terjadi, yang tentu saja di luar kendali, aku mulai berpikir, ujian hidup ini tak ada habis-habisnya. Mau apa lagi padaku sekarang?
Tapi bagaimanapun aku meratap, kejadian yang kuinginkan tetap terjadi, tetap berulang. Datang, dan pergi. Sebagaimana kekuatan dan keyakinan seringkali pasang dan surut kemudian.
Apa yang perjalanan ini ajarkan?
Sebuah pengertian bahwa dalam diri setiap manusia, memang selalu ada rasa haus yang tak bisa disegarkan selain dengan rasa syukur.
Jadi, daripada dihadapi dengan keluhan, mengapa tidak diterima saja dulu? Kesulitan ialah proses yang harus dijalani semua orang. Sekarang, kesulitan, ini giliranku. Tapi setelahnya, aku akan lahir dengan pengalaman, cerita, dan kemampuan yang baru.
Pelan-pelan, kesadaran itu melahirkan rasa syukur. Dalam hati, dalam ucapan, dan dalam tindakanku sehari-hari : bersyukur diberi ujian. Bersyukur badai terlewat. Bersyukur, bahwa melalui itu, aku semakin dikuatkan.
Sudah? Begitu saja?
Tentu saja tidak. Rasa syukur tak datang dalam semalam. Ia seperti tanaman di samping jendela hati, yang perlu dipupuk, disiram, dan dijaga dengan teliti. Butuh usaha dan kesabaran ekstra sampai buahnya tumbuh jadi kebiasaan. Tapi ada satu cara yang tak butuh waktu lama.
Yakni membuka diri untuk berbagi. Terutama di waktu-waktu yang rasanya sulit sekali untuk bersyukur.
Keterbukaan itu perlu, supaya dalam prosesnya, kita tidak setengah-setengah. Kita secara sadar melakukannya untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Barulah dengan itu, berbagi jadi tindakan memberi sekaligus menerima kembali.
Ini tidak hanya berlaku untuk hal-hal yang sifatnya materi, tapi juga psikis. Bentuknya pun tak selalu terlihat: waktu, cerita, suka-duka, apa saja. Entah bagaimana, ia membuka jalan dan meringankan.
Lalu kapan waktu yang tepat untuk mulai berbagi?
Seorang teman pernah katakan, "Saya lagi sial akhir-akhir ini. Sepertinya sedang diingatkan untuk perbanyak sedekah." Lain waktu, jelang hari-hari yang menentukan, ia adakan syukuran jauh hari sebelum syukur itu tiba harinya.
Tidakkah mengesankan? Berbagi justru di saat sedang kekurangan?
Tapi darisitu akan perlahan menerapkan dan tahu dengan sendirinya. Kalau kita harus menunggu sampai berkelimpahan, banyak dari kita yang tak cukup satu kali masa hidupnya.
Itulah anehnya. Bersyukur membuka jalan untuk kebaikan tiba. Dan nikmatnya justru berlipat ganda saat dibagii. Jadi, jangan simpan sendiri. Berbagilah. Kebaikan tak bisa menunggu.
Berusaha berbagilah disaat tidak ada, karena hasilnya akan berlimpat ganda
BalasHapus