Ketika Rumah Bukanlah Rumah

 


Di masa sulit seperti sekarang, beberapa dari kita terpaksa tinggal di rumah. Rasanya waswas, gelisah dan tidak tenang. Pokoknya, suasana rumah tidak kondusif, terlalu hening atau terlalu berisik.


Tak jarang, kita dengar ujaran seperti ini : "Masih syukur bisa di rumah. Tidak seperti aku yang terjebak di perantauan. Ingin pulang, tapi dilarang."


Ya, betul juga. Sebagian dari kita cukup beruntung punya keluarga yang utuh dan mengharu biru. Semakin banyak waktu untuk dihabiskan bersama, justru semakin baik. Tinggal di rumah jadi sebuah privilege. Mewah dan mahal.


Tapi namanya juga hidup, selalu ada kesenjangan. Tenang, tenang. Ini bukan cerita sedih kok, hanya kenyataan yang banyak kita jumpai di masa sulit seperti sekarang ini.


Kalian perlu tahu, meski semua orang bisa pulang, belum tentu semua bisa merasakan rumah. Tidak semua keluarga atau rumah tangga sesempurna cerita-cerita bahagia.


Tidak semua hubungan ayah-ibu-anak diisi dengan sarapan omelet atau pancake susu di meja makan, ucap syukur, piknik di halaman, dan kecupan selamat malam. Setiap keluarga ; setiap rumah, punya badainya sendiri.


Beberapa dari kita perlu bertahan dengan teriakan, cekcok, kesalahpahaman, ketidakcocokan, baku hantam dan banyak tekanan domestik lainnya. Fisik sehat, kebal virus memang. Namun, mentalnya yang babak belur.


Jadi, tidak. Bukannya tidak bersyukur, tapi kalian harus tahu dulu rasanya jadi mereka yang seperti itu.


Semua orang berjuang di medan perangnya masing-masing. Masalah tidak berhenti hanya karena pandemi sedang melanda negeri. Masalah, sama seperti gatal yang tak bisa digaruk, mengikuti ke mana pun punggungmu pergi.


Sudahlah. Rasa syukur tidak perlu dipaksa-paksa.

Komentar