Hanya Ingin Mengeluh Saja

 "Sejauh mana batas kemampuan manusia, selalu menghadapi apa-apa sendirian, seolah hidup tak menganugerahinya orang-orang di sekitar? Jangan-jangan, salah satu cara terbaik menghargainya, adalah dengan menerima bantuan mereka.”


Di dalam rumah yang kelihatan biasa-biasa saja, ada hati yang lapang dan berbahagia.


Dunia dan peradabannya serba cepat dan terus berubah dari waktu ke waktu. Kita yang berada di dalamnya, seolah punya kewajiban untuk terus mendapatkan lebih, lebih, dan lebih.

Pakaian yang sesuai tren, punya gadget keluaran terbaru, penghasilan yang lebih besar, gaya hidup yang lebih mewah, jabatan yang lebih tinggi.


Daftar ekspektasi sosial ini terus bertambah dan tak akan pernah berhenti sampai kita nanti mati.


Seakan-akan apapun yang kita kerjakan tak pernah cukup.


Dan bila kita memilih untuk berhenti atau bahkan mengambil jeda sebentar saja, orang-orang bilang kita ketinggalan kereta.


Masalahnya, sekarang tuntutan itu seringnya tak datang dari orang lain, melainkan diri kita sendiri.


Kita memilih untuk menyaksikan kehidupan terbaik kerabat dan orang-orang tak dikenal dari depan layar, untuk kemudian kita jadikan tolak ukur keberhasilan.


Beban kehidupan yang kita pikul rasanya bertambah muatan. 


Lantas kita jadi tak punya ruang untuk merefleksikan hal-hal yang lebih mendalam:


apa saja yang sudah saya usahakan selama ini, untuk siapa saya melakukannya, dan bagaimana dampaknya untuk saya?


Apakah saya benar-benar selalu ingin lebih, atau semata-mata hanya untuk mempertontonkan hidup yang rasa-rasanya ideal di mata orang? Apakah kebutuhan ini merupakan sebuah ilusi yang saya ciptakan sendiri?


Pertanyaan-pertanyaan ini sebaik-baiknya ditujukan pada diri untuk dijawab sejujur-jujurnya, agar kita tahu, selanjutnya harus melangkah ke arah mana. Tinjau ulang semuanya.


Sebagian orang mungkin mendapat keyakinan bahwa memang inilah yang mau mereka kerjakan. Sedangkan sebagian lainnya, merasa beberapa aspek dalam hidup sudah cukup seperti ini saja.


Maka jawablah benar-benar. Agar untuk setiap pertanyaan yang terjawab, kita melihat diri dengan cara pandang yang baru. Tak lagi fokus pada apa saja yang belum (atau tidak) sesuai dengan standar orang. Agar hidup jadi lebih ringan. Sebab kita yang tahu, kapan cukup terasa cukup.


Rumah yang merupakan representasi diri, kadang memang terlihat biasabiasa saja. Tidak apa-apa. Nyaman tidak harus mewah.


Jika terus dibandingkan, mau sampai kapan? tak akan pernah ada habisnya.


Barulah saat kita memilih untuk melihat dan menghargai apa yang ada di dalam, apa yang sudah kita kerjakan karena mau dan sungguh-sungguh, dalam rumah kita tumbuh hal-hal yang panjang umur. dinaungi atap yang terbuat dari rasa syukur.


Kalau saja kita tahu bahwa diri kita seunik dan seluar biasa itu, mungkin kita tidak akan jadi pribadi yang terlalu rendah diri.


Mau dikatakan se-tidak-ambisius apa pun, kita punya papan nilai dalam kepala, yang menyejajarkan nama kita dengan nama orang-orang lain di sekitar kita, khususnya mereka yang kita anggap setara.


Kita seperti sedang ada di satu kelas yang sama, belajar mata pelajaran yang sama, melalui ujian yang sama. Tapi entah bagaimana, kita merasa selalu yang paling rendah nilainya di antara mereka.


Kemudian dalam menjalankan hari-hari, kita jadi pribadi yang mudah mengecilkan diri sendiri.


ah, paling-paling bukan saya yang terpilih. 


ah, tidak heran dia yang berhasil, saya kan tidak sebaik dia.


Seolah ada yang salah dengan kita, atau kita dikutuk untuk tak bisa jadi yang terbaik atau dapat nilai paling tinggi.


Tapi meski kedengarannya klise, jalan hidup setiap manusia itu unik dan berbeda-beda, bukan?


Kita dibentuk dari begitu banyak hal: karakter, masa lalu, latar belakang keluarga, hingga pola asuh orang tua.


Jangan-jangan, untuk sebagian dari kita, masih hidup dan bertahan saja sudah sebuah prestasi, mengingat betapa tak idealnya hal-hal yang membentuk kita ini.


Masa iya, dalam hal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, kita tidak serta merta menghitung faktor-faktor itu?


Rasanya meski hidup itu tak jauh-jauh dari perbandingan, kita tak boleh lupa untuk punya belas kasih pada diri sendiri, lebih besar atau setidaknya sama besar dengan yang kita miliki dan beri pada orang lain.


jalan manusia tak ada yang sama.


Bukankah kita semua sudah dan sedang sama-sama melakukan sebaik-baiknya yang kita bisa?


Kita juga hebat dan berhasil, dengan cara kita, di cerita dan jalan hidup kita.


Ketahui bahwa ada hal-hal dalam diri kita yang tak bisa dicuri, termasuk juga keberhasilan dan kesukseskan. Sebab jalan sudah ditulis oleh tuhan yang maha tahu.


Maka hatimu itu, jiwamu itu,


tenang saja.


Rezeki tak akan lari ke mana-mana. ia akan tiba, menghampirimu nanti jika tiba waktunya.


lagipula,


kita hanya ada satu.


Tak ada seorang pun yang bisa menggantikanmu, seutuhnya dirimu, dengan suka dan deritamu, dengan kurang dan lebihmu.

Komentar